SURAT TERBUKA UNTUK ANAK CUCU MINAHASA

 oleh Joppie Worek

Pengantar.
Surat ini benar-benar sebuah surat yang aku kirim untuk anak,cucu, dan cicit
orang Minahasa yang akan hadir di sekitar tahun 2030 – 2050. Saya berharap
surat ini bisa menjadi dokumentasi pribadi atau keluarga sehingga boleh dibaca
anak, cucu, dan cece kita nanti. Dokumentasikan surat ini untuk anak cucu
kita. Terima kasih.

Anak, cucu ku …!
Surat ini sengaja aku tulis agar kalian sungguh mengetahui kondisi Alam Negeri
Minahasa di tahun-tahun awal Milenium (2000 – 2002). Paling tidak kalian
memiliki refrensi tambahan untuk selanjutnya mengurus Negeri Minahasa yang kini
lebih banyak memberi persoalan ketimbang kenikmatan.

Kami harus memberi pengakuan bahwa di masa kami, Negeri Minahasa sudah rusak
karena telah tereksploitasi habis. Singkatnya, kami lebih mewariskan alam yang
rusak setelah lama dinikmati kekayaannya.

Hutan di tanah Minahasa semasa kami tinggal tersisa 7 persen dari 30 persen yang
bisa ditolirer. Erosi luar biasa sudah terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir
(2000 – 2002). Bencana banjir sudah terjadi hampir tiap tahun dalam tiga tahun
terakhir. Jalan-jalan, jembatan ambruk disapu panjir bandang mulai dari
Tonsea hingga Tountemboan. Erosi luar biasa terjadi di mana-mana. Sebanyak 63
sungai yang bermuara ke pantai airnya tidak ada yang bening (jernih) lagi.
Semuanya sudah kuning kecoklatan ketika musim hujan. Itu tanda erosi luar biasa.
Pengikisan sumber daya pertanian di Minahasa sedang berlangsung. Itu bukti makin
kurusnya lahan pertanian Minahasa sedang mengancam sekitar 1
juta orang Minahasa yang hidup di Tanah Minahasa. Abrasi pesisir pantai Minahasa
juga berlangsung bersamaan dengan erosi tadi. Pantai makin dangkal
sehingga menghantam daratan bersmaan dengan kenaikan permukaan air. Singkatnya,
di hilir dan di hulu terjadi pengrusakan alam.

Dua Daerah Aliran Sungai (DAS) utama di Minahasa yakni DAS Tondano dan DAS
Ranoiapo kini dalam kondisi amat kritis. DAS Ranpoiapo misalnya, kini sudah amat
‘rajin’ membawa bencana. Akhir tahun 2000 misalnya Sungai
Ranoiapo bikin kejutan dengan menghantam jembatan megah Ranoiapo seharga Rp 12
miliar. Jalan-jalan putus, lahan pertanian porak-poranda. Semua ini karena hutan
penyangga penyimpan air di kawasan DAS Ranoiapo (Pegunungan Wulurmaatus dan
sekitarnya) hampir habis dibabat. Bahkan ironis, ketika bencana itu terjadi,
kegiatan pembabatan hutan di Pegunungan Wulurmaatus
secara mekanis diijinkan oleh pemerintah Provinsi Sulut dan Kabupaten Minahasa.
Akan halnya DAS Tondano juga amat pemprihatinkan. DAS ini tidak lagi didukung
hutan penyangga yang bisa menahan erosi dan sedimentasi. Pegunungan Lembean yang
melingkar danau hanya dipenuhi pohon cengkeh. Tahun 1960-an danau ini memiliki
kedalaman 50 meter tahun 1980 kedalaman 25 meter tahun 2000 hanya sekitar 20
meter. Entah, tahun 2050 danau Tondano akan tinggal nama saja atau diganti nama
mnenjadi Danau Bencana.
Banjir dari danau ini sudah menjadi pengalaman tahuan bagi warga di lingkar
danau. Bahkan Desember 2000 danau ini pernah meluap hebat dan mengakibatkan
sebagian Kota Manado tergenang air setinggi lebih satu
meter. Lapangan (Plein Tikala) berubah jadi danau selama sekitar 10 jam.
Rusaknya DAS Tondano dan Danau Tondano sendiri merupakan ancaman bagi seluruh
Sulawesi Utara, sebab akan mengancam PLTA di sungai itu sebagai sumber energi
paling strategis di Tanah Minahasa.

Anak-cucu ku ….!
Upaya rehabilitasi alam Minahasa yang rusak parah saat surat ini dibuat, secara
jujur kami katakan tidak ada. Tigapuluh tahun lebih selama pemerintahan orde
baru, tidak pernah ada hasil nyata proyek reboisasi di Tanah Minahasa.
Sebaliknya yang terjadi. Pembabatan hutan secara liar dan ilegal terus
berlangsung dan makin membabibuta. Sayangnya, upaya kontrol dari pemerintah
hanya sebatas program. Buktinya Pemerintah Provinsi Sulut dan Kabupaten Minahasa
antara tahun 2000-2001 memberi rekomendasi dan izin pembabatan hutan seluas 1600
Ha di kawasan Pegunungan Wulurmaatus yang adalah daerah
tangkapan air yang masuk daerah penyangga (konservasi) DAS Ranoiapo. Selain itu,
kegiatan massal penebangan liar terus berlangsung secara sporadis di kawasan
Pegunungan Wulurmaatus. Semuanya berlangsung didepan
mata para pemimpin Minahasa.
Di Minahasa saat ini diperkirakan masih ada sekitar 20 juta batang pohon tanaman
perkebunan yang masih bisa menahan atau menyimpan air. Jutaan pohon kelapa dan
cengkeh milik rakyat itu sedikit membantu menahan air.
Jika tidak bencana banjir dan kekeringan pasti akan lebih parah lagi dari yang
pernah kami alami. Namun, peran kelapa dan cengkeh itu diperkirakan akan
berakhir pada tahun 2015-2020. Sebab lebih 70 persen tanaman kelapa di Minahasa
sudah memasuki usia tidak produktif (sekitar 60 tahun) dan segera akan ditebang.
Demikian pula cengkeh, juga akan memasuki masa suram
karena makin berkurangnya konsumen rokok kretek di masa datang. Ketika kelapa
dan cengkeh ditinggalkan petani maka bisa dipastikan bencana akan lebih
dahsyat.

Lebih repot lagi, ternyata di Minahasa sekarang tidak hanya terjadi degradasi
lingkungan tetapi degradasi kultur kerja. Banyak calon petani usia produktif
terpaksa turun gunung pergi ke kota menyambung hidup. Pertanian kita
sedang mengalami kemerosotan. Banyak anak-anak muda kita tidak lagi mewarisi
ketrampilan bertani orang tuanya. Kawasan Tonsea, kebun-kebun di sana sudah
sekitar 20 tahun terakhir banyak yang dikeloloa petani penggarap asal Sangihe
Talaud. Kecendrungan itu sudah merembes ke Toulour, Tombulu, Tontemboan, dan
Tonsawang. Di pedalaman Minahasa saat ini kita juga sangat sulit menemukan
Kelompok Mapalus Kebun. Tidak terdengar lagi tambor mapalus di pagi hari.
“Anak-anak muda Minahasa sekarang sudah amat kurang yang memiliki ketrampilan
bertani,” keluh Rudy Pongantung asal Motoling,
Minahasa Selatan. Rupanya generasi muda Minahasa sudah menemukan
persimpangan yang sulit, dan kini mereka banyak yang lebih memilih turun gunung
ketimbang bertani. Mereka bermigrasi ke perkotaan, merantau ke luar daerah,
bahkan ke luar negeri.

Anak, cucu ku …..!
Orang Minahasa sejak dahulu dikenal sebagai “Orang Gunung”. Sebab memang
kampung-kampung tua Minahasa ada di daerah pegunungan bukan di pesisir. Tetapi
saat ini sduah ada kecendrungan baru di orang Minahasa. Orang
Minahasa mulai meninggalkan gunung turun pergi ke pesisir. Coba lihat bagaimana
Kota Bitung, Manado, Amurang semakin padat. Tiga kota pantai ini akan menjadi
wilayah urbanisasi urbanisasi paling kuat di abad 21. Hasilnya (sudah
diprediksi) Bitung-Manado-Amurang-Tomohon-Langowan akan membentuk sebuah “Kota
Raksasa” (Mega City) secara arti fisial. Saat ini saja Manado dan Bitung tinggal
sedikit waktu lagi akan ‘tasambung’ menjadi satu. Manado-Tomohon pun demikian
nyaris menjadi satu. Pergerakan pembukaan
pemukiman baru ke depan akan cendrung terjadi antara Manado – Amurang, sebab
jalur ini adalah jalur yang amat potensial secara ekonomis, sebab ini adalah
jalur Trans Sulawesi.

Kami belum bisa membayangkan seperti apa tantangan hidup ketika Tanah Minahasa
yang hanya sepotong itu sudah membentuk “Kota Raksasa” (Mega City). Orang-orang
gunung akan turun ke kota, karena di gunung tidak lagi cukup tersedia lahan
pertanian yang subur seperti yang tersedia di akhir abad 20. Kompetisi perebutan
lahan pertanian akan makin keras karena makin banyak penduduk di Minahasa
sementara luas lahan tidak akan pernah bertambah.

Anak, cucu ku ….!
Dimasa kalian nanti, tahun 2030 – 2050, hidup di tanah Mianahsa kami bayangkan
akan semakin repot. Ancaman bencana akan makin sering melanda kalian. Tahun 2030
– 2050 kami bayangkan sebagai tahun rehabilitasi Minahasa.
Kami tentu tidak menginginkan kallian pergi meninggalkan tanah Minahasa yang
gersang dan porak-poranda karena bencana.

Kalian yang mungkin sebagian ada di perantauan tentu akan merelakan waktu,
tenaga, dan dana untuk merehabilitasi kembali Tanah Minahasa. Kami berkeyakinan,
komunitas Minahasa di jagad raya akan bahu membahu melakukan upaya rehabilitasi
Tanah Minahasa. Agar Minahasa perantauan masih memiliki epenggal tanah di ujung
di tengah samudera Pasifik, yang bisa dibanggakan. Kawanua di perantauan di
Negeri Global tentu masih tetap memiliki kerinduan Pulang Gunung untuk menikmati
Saguer, Tinutuan, Tinorangsak deng Pangi.

Anak, cucu ku …. !
Surat ini aku buat untuk kalian, agar nanti kalian tidak hanya bisa menumpahkan
kekecewaan dan kesal pada pendahulumu karena hanya bisa mengenal Minahasa yang
sesungguhnya dari buku-buku, dari rilief-rilief atau monumen-monumen. Terus
terang, kami memang tergolong generasi Minahasa
yang salah urus Tanah Minahasa. Kata maaf untuk kalian (karena kami salah urus
negeri Minahasa) tentu tidak cukup mengobati kekecewaan kalian.
Mengapa alam Minahasa rusak berat ? Panjang ceritanya. Singkatnya, kalau kita
buka di sini kami akan saling menuding satu dengan lain. Kebiasaan saling tuding
dan menumpahkan kesalahan adalah satu hal yang juga tidak ingin kami wariskan
kepada kalian. Yang pasti kami ingin kalian tidak membuat Monumen
Negeri Minahasa ketika kalian sudah enteng berkelana ke Negeri Global.

Anak, cucuku ….!
Kami percaya Minahasa adalah juga “Kanaan” yang dijanjikan untuk semua generasi
Minahasa, termasuk generasi kalian di tahun 2030-2050.
Manado 26 Januari 2002

Salam hormat : Joppie Worek (Manado)

 

Pos ini dipublikasikan di Tak terkategori. Tandai permalink.

Satu Balasan ke SURAT TERBUKA UNTUK ANAK CUCU MINAHASA

  1. samwullur berkata:

    Terima kasih Mustika Kelana Tarigan ^_^

Tinggalkan komentar