PEMBENTUKAN WATAK DAN SIKAP MENTAL MINAHASA Oleh Fred Thomas

KATA PENGANTAR

 Tulisan ini bukan merupakan hasil riset atau bersumber pada literatur. Yang dikemukakan di sini lebih banyak berdasarkan pengalaman dan pengamatan serta interpre-tasi terhadap pegalaman dan pengamatan itu.

Oleh karena itu, tulisan ini terbuka bagi kritik, koreksi, bahkan sanggahan. Misalnya pernyataan bahwa mentalitas dan karakter orang Minahassa tumbuh dari dua falsafah, tidak mutlak; mungkin ada interpretasi lain yang didasarkan atas data-data yang lebih empiris.

Namun demikian, Penulis harap bahwa tulisan ini bermanfaat bagi generasi muda untuk membangun kembali suatu identitas dengan mentalitas orang Minahassa seperti “tempo doeloe”, bahkan yang lebih modern lagi sejalan dengan perkembangan yang pesat di mana kita semakin “go international”. Sebab, sama seperti para pendahulu kita “tempo doeloe” telah memberi bagian terbaiknya kepada perjuangan dan pengembangan bangsa Indonesia, generasi muda Minahasa dapat menjadi “berkat” bagi seluruh bangsa kita bila dibangun suatu mentalitas yang didasarkan atas nilai-nilai kultur Mapalus serta nilai-nilai yang berlaku secara universal. .

Itulah sebenarnya tujuan akhir dari tulisan ini.

 

                                                                                    PENULIS

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

            Seorang  pensiunan pejabat tinggi suku Batak, yang pernah bertugas di Manado selama k.l. lima tahun, berkata kepada saya: “Saya melihat bahwa Injil telah merusak adat orang Minahasa”. Maklumlah, orang Batak sangat menjunjung tinggi adatnya. Beliau sendiri boleh dikata pakar dalam hukum adat Batak.

Karena saya sering bergaul dalam masyarakat Batak dan melihat bagaimana terjadi suatu “kompromis” antara adat dan Injil, saya balas: “Saya melihat bahwa di Tapanuli adat telah mengkaburkan Injil”.

Harus diakui bahwa di berbagai daerah pernah terjadi suatu percampuran antara iman Kristiani dan budaya lokal secara kompromistis, di mana iman Kristiani dicampur-adukkan dengan kepercayaan-leluhur. Malah adakalanya adat ditempatkan diatas Injil. Tetapi di Minahasa segala praktek yang berbau penyembahan berhala serta kepercayaan sia-sia dilawan keras oleh Gereja (GMIM = Gereja Masehi Injili di Minahasa), sampai ada pendeta-pendeta yang melarang para anggota jemaat terlibat dalam tarian Maengket misalnya, karena “tarian itu mengandung unsur-unsur penyembahan opo-opo” (roh-roh para leluhur).

Tetapi sebaliknya sekarang ini malah para koreografer Maengket menciptakan tarian yang mengexpresikan penyembahan kepada Tuhan Allah. Sejarah gereja menunjukkan bahwa bila Injil diterima oleh suatu bangsa atau suku, maka langsung terjadi interaksi antara Injil dan kebudayaan. Interaksi itu mempunyai tiga bentuk:

Pertama, konfrontasi; hal itu disebabkan oleh para utusan Injil (zendeling – missionary) di masa lalu – khususnya yang dari Belanda – yang berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam kebudayaan “orang kafir” itu adalah “kafir” pula dan bersumber pada penyembahan berhala (dan/atau leluhur). Itu memang benar, akan tetapi para utusan Injil (Barat) itu keliru dalam menangani kebudayaan itu dengan suatu prasangka yang timbul dari arogansi kultural Barat.

Kedua, percampuran atau kompromis antara Injil dan kebudayaan tanpa revisi, atau boleh dikata tanpa “pertobatan”. Hal itu disebabkan oleh suatu keinginan dari pihak para utusan Injil supaya Berita Kesukaan itu dapat dengan mudah diterima oleh bangsa bersangkutan.

Ketiga, integrasi, di mana bangsa itu membawa serta kebudayaannya kedalam pertobatannya. Di sini tidak terjadi kompromis, melainkan penyesuaian, di mana segala aspek dalam kebudayaannya diberi arti Kristiani yang Alkitabiah. Kalau tadinya kebudayaan itu bersumber pada keyakinan-keyakinan tradisional yang animistis, sekarang ia diinspirasikan oleh Firman Allah. Hal itu kita lihat misalnya dalam gereja Roma Katholik. Alberto Moravia pernah berkata, “Italia telah memberi segala-galanya kepada Gereja, tetapi apakah yang Gereja berikan kepada Italia?” Yang ia maksudkan ialah bahwa kekayaan seremonial penyembahan, lengkap dengan patung-patung  serta hierarkhi pemerintahan yang terkandung di dalam kebudayaan Romawi, diberikan kepada Gereja

sehingga gereja Roma memiliki perangkat ibadah dengan symbol-symbol Kristiani yang indah serta susunan pemerintahan gereja yang kuat.

Interaksi bentuk terakhir itulah menciptakan suatu kultur Kristiani yang besifat etnis, yang dibersihkan dari unsur-unsur religius dan moral yang bertentangan dengan Injil di mana bangsa bersangkutan menjalankan hidupnya serta mengexpresikan penyembahannya sesuai dengan konstitusi kulturalnya. Hal itu yang terjadi juga di Minahasa, yang akan kita bahas lebih lanjut.

Tetapi pernah terjadi suatu periode di mana kalangan-kalangan tertentu di Minahassa, mulai menggali kembali “kebudayaan asli” Minahasa, lengkap dengan “opo-oponya”; suatu upaya “menggali kubur” untuk mengeluarkan “tulang-tulang kering”. Hal itu didorong oleh suatu perasaan “tidak mau kalah” dengan suku-suku bangsa lainnya yang memiliki kebudayaan asli yang sepanjang masa dilestarikan, sedangkan orang Minahasa sudah terlalu didominasi oleh “budaya Eropa”…..kata orang….!

“Penggalian tulang-tulang dari kubur” itu begitu meluas, sehingga Pendeta A.Z.R. Wenas (Ketua Synode GMIM) mengatakan di tahun 60-an bahwa “Minahasa harus diinjili kembali”; maka dilancarkannya gerakan “Re-Evangelisasi Minahasa”, di mana segala sikap prasangka dan menentang terhadap mazhab-mazhab Kristiani lainnya, seperti Pentakosta, Advent, Bethel termasuk Roma Katholik, ditanggalkannya. Maka segala potensi Pemberitaan Injil yang Tuhan miliki, menyerang Minahasa. Sebagai contoh saya kutib suatu peristiwa yang diceritakan oleh Ds. Wenas sendiri kepada saya. Waktu di kota Manado sedang berlangsung suatu kampanye Kebangunan Rohani oleh kalangan Gereja Bethel Indonesia/Gerakan Kharismatik, beberapa anggota jemaat GMIM datang kepada beliau dan minta izin untuk dibaptis selam, karena waktu mereka mendengar khotbah tentang baptisan itu di Kebangunan Rohani tersebut, timbullah keragu-raguan dalam hati mereka. Pdt. Wenas bertanya: “Bila kamu dibaptis selam, apakah itu akan memperkuat iman kamu?” Mereka jawab, “So pasti, dan torang akan lebih tenang karena terbebas dari keragu-raguan tentang baptisan.” Lalu Pdt. Wenas berkata, “Silakan, kalau begitu. Tetapi dengan satu syarat, yaitu jangan meninggalkan GMIM.” Mereka meyakinkan gembala yang bijaksana itu bahwa mereka akan tetap anggota GMIM yang aktif. Sikap Pdt. Wenas dikritik oleh rekan-rekannya; kata mereka bahwa itu “bertentangan dengan doktrin GMIM”. Terhadap kritikan itu berliau menjawab: “Tuhan Yesus telah mengutus kita sebagai gembala domba-domba-Nya, dan bukan sebagai pembela doktrin…!” Cerita ini sekedar suatu gambaran bagaimana serius dan konsekuen beliau dalam gerakan “Re-Evangelisasi Minahasa” itu.

Pertanyaan kita sekarang, apakah benar bahwa Injil telah merusak adat (baca: budaya) Minahasa? Ds. Graafland dalam bukunya “De Minahassa” menceritakan bahwa waktu beliau baru datang ke Minahasa, ia mengadakan perjalanan keliling daerah itu. Di suatu kampung di daerah Ratahan ia disambut oleh kepala kampung, yang hanya memakai kain tutup pinggang. Beliau diundang kedalam “rumah” kepala kampung itu, yang tidak lebih dari suatu gubuk tanpa lantai, untuk makan bersama. Di tanah yang beralaskan tikar itu digelar daun pisang dengan makanan. Beliau diajak duduk bersila, makan dengan tangan dan minum dari tempurung. Itu terjadi pada permulaan abad ke 19….. Lima tahun kemudian, sebelum Graafland pulang ke Nederland, ia berkeliling Minahassa lagi dan kembali ke kampung itu….Beliau disambut oleh kepala kampung yang sama, tetapi yang sekarang sudah memakai celana panjang dengan jas tutup (walaupun tanpa sepatu). Graafland diundang ke rumah kepala kampung yang sekarang sudah menjadi rumah panggung dan…..dengan terkejut Graafland diajak duduk di kursi meja makan yang ditutup dengan kain putih dan ditata rapih dengan piring, sendok dan garpu serta gelas minum…..! Presis seperti di rumah orang Belanda! Tetapi kepala kampung itu masih Alifuru (animis atau “kafir”)….! Dengan itu Graafland mau menunjukkan bahwa orang Minahassa “menjadi Belanda dulu, kemudian baru menjadi orang Kristiani”. Tetapi apakah itu berarti bahwa budaya Minahasa sudah hilang? Atau apakah mungkin sudah terjadi suatu “interaksi budaya” yang menghasilkan suatu budaya baru?

Di atas telah disebut bahwa upaya menggali kembali budaya “asli” Minahasa adalah sebagai “menggali tulang-tulang dari kubur”. Mengapa? Kalau orang berkata-kata tentang “pelestarian kebudayaan asli”, maka sebenarnya mereka lihat kebudayaan itu sebagai sesuatu yang statis, suatu “benda warisan”. Padahal kebudayaan tidak statis, melainkan mengalami revisi dan “renovasi” menurut perkembangan zaman dan manusia yang memiliki budaya itu. Kebudayaan adalah suatu manifestasi dan expresi dari pandangan hidup serta dynamika suatu bangsa dalam segala bentuk dan di segala bidang, menurut perkembangan zaman dan peristiwa.

Yang pertama-tama membawa Injil ke Minahassa adalah orang-orang Spanyol/Portugis (tetapi sangat dangkal), kemudian orang Belanda. Tetapi anehnya orang Minahasa justeru menyerap budaya Belanda itu bersama-sama dengan Injil (atau ada kalanya budaya lebih dulu). Mengapa demikian? Apakah yang membuat orang Minahasa tertarik kepada sikap hidup orang Belanda itu? Dulu pernah saya dengar orang berkata bahwa orang Minahasa suka “meniru-niru orang Belanda” karena tertarik kepada gaya hidup mereka. Tetapi dugaan itu terlalu dangkal dan tidak mungkin, mengingat watak orang Minahasa yang pada hakekatnya bekepribadian mandiri, berwibawa serta demokratis itu. Dalam Bab-bab berikut kita melihat bahwa ada perkara-perkara yang jauh lebih mendalam dan mendasar yang membuat orang Minahasa “mirip dengan Belanda” dalam perkembangan wataknya di kemudian hari.

Yang penting sekarang ialah bahwa pejabat Batak itu “salah lihat”. Ia ingin menemukan “tulang-tulang kering”, tetapi yang sebenarnya ia temukan adalah suatu budaya “Asli dan Kristiani” sebagai hasil dari suatu perkembangan kultural yang terbuka dan dynamis. Keterbukaan itu adalah ciri khas watak Minahasa dari sebelum Belanda masuk ke daerah itu. Hingga sekarang orang Minahasa terkenal sebagai orang-orang yang terbuka terhadap segala kemungkinan dan segala perubahan. Bagi kalangan-kalangan tertentu terkesan “liberal”….; itupun keliru, karena orang Minahasa pada dasarnya mempunyai kaidah-kaidah hidup yang tinggi dan ketat, hanya mereka tidak kaku; gayanya saja yang terkesan liberal. Orang Minahasa adalah penggembira serta melihat hidup ini dari segala perspektif dengan suatu optimisme yang tinggi. Sebagai orang Kristiani optimisme itu bukan suatu optimisme yang kosong, melainkan bersumber pada Imannya. Sesuai dengan wataknya yang progresif, orang Minahasa tidak melihat alam ciptaan Allah ini sebagai sesuatu yang statis, melainkan berkembang terus-menerus, seperti kata Tuhan Yesus dalam Yahanes 5 : 17, “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang….” Watak orang Minahasa tidak terlepas dari Iman Kristianinya….! Itupun membuat orang Minahasa mau belajar terus serta terbuka bagi segala perubahan dan kemungiinan. Tidak heran kalau sebelum Perang Dunia II orang Minahasa sangat menonjol di segala bidang, sehingga karena disebarkan ke segala pelosok Nustantara dalam berbagai funksi dan professi, mereka menjadi berkat bagi seluruh bangsa.

Peran itulah yang perlu kita kembalikan dengan suatu pembentukan watak melalui penataan ulang suatu tata nilai yang didasarkan atas kultur Mapalus dan Iman Kristiani,

444 X 333

BAB II

MAPALUS dan CALVINISME

            Beberapa tahun yang lalu diadakan suatu sarasehan yang diselenggarakan oleh para mahasiswa S-2 dari Minahasa yang kuliah di Bandung. Mereka mengadakan sarasehan dengan “oom-oom dan tante-tante yang berumur di atas 50 tahun”. Waktu saya tanya untuk apa sarasehan itu, mereka menjawab: “Kami melihat bahwa generasi dorang oom dan tante mempunyai sesuatu yang kami, angkatan muda Minahasa tidak miliki…..Kami ingin tahu apa itu”. Seperti mereka mau mangatakan: “What is it that makes you diferent from our generation?” Mereka menyadari bahwa generasi kami memiliki suatu sikap mental yang mereka kagumi, dan yang telah membuat orang Minahasa unggul di masa lalu, tetapi yang sekarang mereka sudah tidak miliki. Mereka minta saya untuk mengemukakan suatu pandangan singkat tentang perbedaan antara generasi kami dan mereka, serta sebab-musababnya. Dengan senang hati saya memenuhi permintaan mereka, karena saya sangat gembira bahwa mereka menyadari kevakuman itu di dalam diri mereka. Pandangan singkat itulah yang saya kemukakan sekarang dalam tulisan ini, namun dalam bentuk yang lebih rinci.

            Harus saya akui bahwa saya bukan pakar kebudayaan Minahasa, bahkan tidak banyak yang saya tahu. Oleh karena itu saya tidak akan membahas Mapalus secara detail, hanya intinya yang saya tahu. Itupun hanya dalam relasinya dengan Calvinisme Belanda (Di kalangan filsafat dikenal apa yang disebut “Dutch Calvinism” sebagai suatu falsafah yang telah membentuk watak orang Belanda pada umumnya), sebab itulah yang sebenarnya membawa kita kepada jawaban atas pertanyaan apakah benar Injil telah merusak adat Minahassa.

            Kalau orang tanya apa itu Mapalus, maka umumnya dijawab – juga oleh orang Manado sendiri – bahwa itu berarti “gotong-royong”. Kalau dilihat dari segi istilahnya, itu tidak salah, karena “gotong-royong” berarti “pikul bersama”. Namun jika dilihat dari segi filosofinya, Mapalus tidak sama dengan “gotong-royong”. Istilah “gotong-royong” adalah suatu istilah Jawa, yang mempunyai dasar filosofis Jawa pula, yang pada hakekatnya sangat kolektivistik. Setiap (suku) bangsa mempunyai falsafah hidup, seperti Indonesia memiliki falsafah Pancasila. Falsafah yang terkandung dalam istilah “gotong-royong” itu dapat kita sebut “falsafah sapu lidi”: artinya, satu batang lidi dapat dipatahkan dengan mudah, tetapi sapu lidi tidak dapat dipatahkan. Lagipula, “gotong-royong” itu terutama tertuju kepada “kepentingan bersama” (atau kepentingan umum), karena dianut oleh suatu masyarakat yang kolektivistik, walaupun dalam hal-hal tertentu orang juga mengadakan gotong-royong untuk kepentingan perorangan, misalnya yang terkena musibah. Kita melihat dalam masyarakat Indonesia umumnya bahwa kepentingan bersama itu lebih diutamakan, sehingga individu kurang diperhatikan, malah individu diharap supaya “rela berkorban” demi kepentingan umum. Bagaimana individu mengembangkan potensinya, itu adalah urusan dia sendiri. Tidak heran bahwa di dalam suatu masyarakat yang bersifat kolektivistik itu, kadar tanggungjawab individual (individual responsibility) sangat rendah, hal mana nyata jelas di masyarakat umum kita. Suatu kadar tanggungjawab individual yang rendah tidak dapat mengembangkan demokrasi yang sebenarnya, karena demokrasi justeru terbentuk berdasarkan tanggungjawab individual itu. Dan itulah yang telah membuat tata masyarakat Minahasa menciptakan suatu tradisi masyarakat yang demokratis, jauh sebelum demokrasi di Eropa berkembang.  

            Mapalus berbeda dengan gotong-royong secara filosofis. Didalamnya memang terkandung makna kebersamaan, tetapi bukan sebagai tujuan. Seperti dikatakan di atas, bangsa Minahasa sejak dahulu kala telah merupakan suatu bangsa yang demokratis. Tidak ada raja. Setiap kepala suku (Tonaas) dipilih oleh rakyat untuk memimpin mereka, baik sebagai masyarakat maupun di dalam peperangan. Orang yang dianggap paling bijak dan paling berani, dialah terpilih sebagai Tonaas. Kedudukan Tonaas itu tidak turun-temurun; bila Tonaas itu meninggal, rakyat memilih Tonaas yang baru – walaupun terbuka kemungkinan bahwa salah seorang putra almarhum terpilih bila ia cakap. Semua system demokrasi pada hakekatnya didasarkan atas tanggungjawab individual setiap anggota masyarakat. Oleh karena itu, suatu masyarakat yang demokratis tidak mudah diprovokasi. Setiap orang mempunyai pendapatnya dan kaidahnya untuk menilai seorang calon pemimpin. Jika suku-suku itu setiap kali memilih pemimpinnya, maka dapatlah kita simpulkan bahwa setiap individu dalam komunitas suku itu memiliki tanggungjawab; mereka tidak dihanyutkan oleh retorika orang yang ingin menjadi pemimpin. Saya tidak tahu, apakah Mapalus yang membuat orang Minahasa berwatak bertanggungjawab yang tinggi, atau sebaliknya karena karakteristik suku itu demikian, maka tercipta adat Mapalus itu. Menurut saya, yang terakhir itulah, sebab bukan budaya yang membentuk watak manusia (walaupun hal itu dapat terjadi bila budaya menjadi baku), melainkan sebaliknya watak atau mentalitas itulah yang menghasilkan kebudayaan.

            Mula-mula bangsa Minahassa terdiri dari suku-suku yang saling bersaing dan berperang. Lama kelamaan suku-suku itu menyadari bahwa dengan saling berperang itu mereka akan merugikan diri sendiri. Maka mereka membuat suatu pertemuan lalu bersumpah untuk bersatu; mereka bersumpah untuk “Mina Esa”, Menjadi Satu. Dari situlah Belanda menyebut bangsa dan daerah itu “Minahassa”. Padahal yang mula-mula dimaksud dengan “Minahassa” ialah “dewan” atau “musyawarah” para kepala suku di mana segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat dibahas dan diputuskan. Menurut cerita, karena pertemuan itu diadakan di hutan –  sedangkan setiap pertemuan perdamaian harus dimeteraikan dengan makan bersama (orang Minahasa memang doyan makan) – maka mereka mengumpulkan segala daun-daun yang dapat dimakan, ubi, labu dan jagung, lalu memasaknya di suatu kuali yang besar. Lahirlah Tinotuan atau “Bubur Manado”. Hingga sekarang Tinotuan itu merupakan hidangan utama pada setiap reuni keluarga.

            Telah kita katakan bahwa dengan tanggungjawab individual itu suku-suku memilih para Tonaasnya; tetapi hal itu tidak berhenti di sini. Tanggungjawab individual itu juga berperan dalam kehidupan rumahtangga di mana kepala keluarga, baik ayah maupun ibu, merasa bertanggungjawab untuk mendidik serta membina anak-anaknya secara progresif (karena sifat demokratis itulah maka kedudukan suami-isteri di dalam keluarga adalah setaraf). Tanggungjawab individual itu juga berperan di dalam hidup bermasyarakat. Tetapi di sinilah kita melihat perbedaannya dengan suku-suku bangsa lain. Orang Minahasa tidak melihat masyarakat itu sebagai suatu kesatuan yang bulat dan kaku yang terdiri dari “unsur-unsur individu”, melainkan mereka melihat masyarakat itu sebagai suatu kumpulan individu-individu yang mandiri. Setiap individu mempunyai kepentingan, tetapi ia tidak dapat memenuhi kepentingannya seorang diri; ia membutuhkan orang lain untuk menolongnya. Sebaliknya setiap orang pula menyadari kepentingan orang lain dengan rasa tanggungjawab bahwa ia harus menolong orang itu; tetapi ia tidak dapat menolongnya seorang diri. Maka di sinilah Mapalus berperan, di mana orang-orang yang merasa bertanggungjawab untuk menolong individu lain dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya, secara bersama-sama bekerja untuk memenuhi kepentingan individu itu. Dan orang yang sudah tertolong itu, pada gilirannya juga ikut serta dalam memberi pertolongan kepada seorang anggota masyarakat lainnya.

 Jelaslah bahwa di dalam Mapalus kita melihat suatu kebersamaan yang ditujukan kepada kebutuhan, kepentingan, kesejahteraan dan…. perkembangan setiap anggota (dan keluarganya). Misalnya, kalau hari ini orang secara Mapalus mengerjakan ladang Oom Endi Lasut, esoknya mereka, termasuk Endi Lasut, ber-Mapalus di tanah Oom Petu Wenas; esoknya lagi Petu Wenas bergabung ber-Mapalus di ladang Jantje Polii, dan seterusnya….Begitu pula dengan membangun rumah, lumbung padi dll., sedangkan penggilingan padi dan jagung dimiliki secara Mapalus pula. Sebenarnya prinsip ini mirip sekali dengan kooperasi di negara-negara Barat, di mana kooperasi itu dibentuk untuk kepentingan setiap anggotanya. Suatu kooperasi akan hancur bila di dalam suatu masyarakat yang sangat kolektivistik setiap anggota harus beperan untuk kooperasi….! Padahal kooperasi ada untuk para anggotanya, dan bukan sebaliknya.

Dengan demikian, maka atas upaya bersama, setiap anggota masyarakat menjadi makmur serta dilengkapi dengan berbagai potensi, yang pada gilirannya membuat masyarakat Minahasa sebagai suatu komunitas yang kuat dan progresif, karena terdiri dari individu-individu yang potensial di berbagai bidang. Itulah sebabnya Belanda tidak dapat menaklukkan orang Minahasa, tetapi terpaksa membuat suatu perjanjian dengan para Tonaas itu, yang tergabung dalam suatu Dewan yang disebut “Minahassa”. Kemudian, sesuai dengan perkembangan zaman, dewan itu makin dimodernisasikan, sehingga akhirnya Dewan Minahassa itu terdiri dari anggota-anggota masyarakat yang dipilih langsung oleh rakyat. Sepanjang “zaman kolonial”, pemerintah Hindia Belanda selalu harus memperhitungkan dan berkonsultasi dengan Dewan Minahasa (Minahassa Raad). Di sini kita melihat bahwa dari antara semua daerah di Indonesia, Minahasa adalah yang paling demokratis sejak sebelum zaman Hindia Belanda. Kalau dikatakan bahwa bangsa Indonesia sekarang “sedang belajar berdemokrasi”, orang Minahasa tidak termasuk di dalamnya, karena tidak perlu “belajar berdemokrasi” lagi.

Waktu VOC mendarat di Minahasa, mereka menemukan suatu bangsa yang kokoh dengan pemimpin-pemimpin yang demokratis. Waktu berurusan dengan para Tonaas, mereka berhadapan dengan orang-orang yang berwibawa dengan sikap mental serta harga diri individual yang tinggi.

Di zaman itu Belanda sedang terlibat dalam perang kemerdekaannya melawan Spanyol. Walaupun perjuangan itu bersifat “nasionalis”, tetapi unsur Protestantisme-Calvinis merupakan sumber semangat dalam perjuangan orang Belanda. Walaupun Calvin mengembangkan filsafatnya di Geneva (Swiss), namun filsafat itu justeru diserap dan dikembangkan oleh orang Belanda. Selain mempengaruhi kehidupan iman, Calvinsme itu juga membentuk watak orang Belanda, yang masih terlihat hingga sekarang. Oleh karena itu di kalangan filsafat orang berbicara tentang “Dutch Calvinism” (Calvinisme Belanda). Semangat Calvinis yang berkobar dalam bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya itu begitu kuat, sehingga Paus di Roma menyuruh Raja Philip II dari Spanyol untuk menindas pemberontakan Protestan yang dipimpin oleh Prins (Pangeran) Willem van Oranya-Nassau dan para turunannya itu. Dalam pertempuran-pertempuran antara Spanyol dan para “gerilyawan” Belanda, pihak Belanda sering mengalami kekalahan karena berhadapan dengan tentara Spanyol yang lebih kuat dan canggih, Tetapi di laut para “Water Geuzen” (gerelyawan laut) banyak membawa kerugian pada armada-armada Spanyol, sehingga terkenallah nama-nama Piet Heyn, Michiel de Ruyter, Jan de Wit dan lain-lain. Pertempuran-pertempuran di laut malah merembet sampai ke perairan Indonesia dan sekitarnya. Tidak heran kalau para pemimpin Minahasa minta tolong kepada VOC untuk melawan orang Spanyol yang sering berbuat onar di daerah itu; tentu saja Belanda melakukannya dengan senang hati.

Tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Belanda itu merupakan para Calvinis yang “panas”, kalau tidak mau dikata “fanatik” waktu mereka datang ke Indonesia, khususnya Minahasa. Dalam interaksi perdagangan dan politik mereka menemukan di Minahasa suatu bangsa yang pada permukaannya tidak jauh berbeda dengan watak bangsa mereka sendiri. Kemudian diketahui bahwa watak itu terbentuk oleh falsafah Mapalus, yang bila diteliti, ternyata banyak kemiripan dengan Calvinisme. Sebaliknya orang Minahasa mengalami bahwa mereka mudah berkomunikasi dengan para pendatang ini. Mereka menemukan bahwa orang-orang Eropa ini berbeda jauh dengan orang Spanyol yang kasar dan bengis itu. Orang Minahasa membenci orang Spanyol dan Portugis, karena selain kasar, mereka juga sering berbuat onar di kalangan rakyat, seperti misalnya mengejar-ngejar kaum perempuan serta memperkosanya! Orang Belanda sebaliknya menunjukkan moralitas Kristiani yang tinggi, sopan, berdisiplin serta tegas dalam tutur kata dan tindakan, hal mana memang merupakan ciri-ciri karakter Calvinis. Maka dalam interaksi perdagangan dan politik antara orang Belanda dan orang Minahasa, terjadilah juga suatu interaksi budaya antara Calvinisme Belanda dan Mapalus itu, yang tentu saja berproses selama puluhan tahun. Tidak heran bahwa orang Minahasa dengan mudah “menjadi orang Belanda” dan…..sekaligus dengan mudah menerima Injil! Menurut sejarah Misi, Minahasa yang waktu itu berpenduduk k.l. 300.000 orang, telah menjadi Kristiani dalam waktu kurang dari 60 tahun; itu adalah waktu yang paling singkat dibanding dengan daerah-daerah Misi lainnya di seluruh dunia.

Dengan mentalitas yang progresif itu, serta melihat contohnya pada orang Belanda, timbullah pada orang Minahasa suatu keinginan kuat untuk belajar. Didorong oleh suatu keinginan kuat untuk menyebar Injil, orang Belanda telah mendirikan beberapa sekolah. Melihat manfaat sekolah-sekolah itu, maka para kepala suku minta lebih banyak sekolah lagi. Tetapi oleh karena setiap kampung menginginkan sekolah, pemerintah Belanda tidak mampu untuk memenuhi semua permintaan. Maka di sinilah Zending (Missi Protestan) mengnambil alih dan mengisi kekosongan-kekosongan, sehingga sampai sekarang kita mendapati sekolah-sekolah Kristen di setiap kampong (sekarang Sekolah-sekolah GMIM). Alhasil, sebelum Perang Dunia II di Minahassa hanya terdapat kurang dari 1% buta huruf….! Waktu Kartini memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak perempuan Jawa, nenek saya sudah bersekolah. Selain itu, orang Minahasa berhasil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah lebih tinggi di Jawa dan di Eropa; dan itu bukan dari kalangan para bangsawan (karena tidak ada). Saya tidak mempunyai data jelas, tetapi pernah seorang pemuka Minahassa di Bandung, Dr. C.L. Winter (alm), menceritakan bahwa pada permulaan PD II, di Indonesia terdapat 250.000 kaum intellektual yang tersebar di seluruh Nusantara. Yang dimaksud dengan “kaum intellektual” waktu itu ialah mereka yang paling kurang mempunyai ijazah Guru Eropa sampai kepada para profesional lainnya seperti dokter, para pejabat tinggi di pemerintahan dan para pendeta. Dari 250.000 orang itu, sekitar 50.000 adalah orang Minahasa yang tersebar di seluruh Nusantara! Kalau kita hitung bahwa orang Minahasa waktu itu berjumlah k.l. 500.000 jiwa, maka 10% orang Minahassa adalah kaum intellektual. Kalau yang sisa 200.000 orang itu dibanding dengan penduduk di Jawa dan Sumatra yang waktu itu berjumlah k.l. 80.000.000, maka kita mendapat angka 0,25%…..! Sekali lagi, data ini perlu diperiksa kembali kebenaran empirisnya.

Melihat perkembangan seperti dikemukakan di atas, maka terbentuklah suatu watak orang Minahasa yang progresif, demokratis dan berwibawa serta modern, yang berakar pada dua falsafah: Mapalus dan Calvinisme. Tidak heran bahwa kebudayaan serta watak Minahasa berkembang dalam suatu perpaduan dari kedua falsafah itu. Maka berdasarkan kriteria bahwa pada hakekatnya suatu kebudayaan adalah hasil dari suatu perkembangan, maka tidak dapat dikatakan bahwa adat dan kebudayaan Minahassa “dirusak oleh Injil”. Sebab, oleh perpaduan itu Injil masuk kedalam Mapalus, maka adat Mapalus justeru diperkaya oleh Injil….! Misalnya, kalau dahulu Mapalus itu digerakkan oleh solidaritas antar individu, maka sekarang Mapalus digerakkan oleh kasih dan kepedulian kepada sesama manusia, seperti diamanatkan oleh Kristus, sedangkan semangat kebersamaan ditingkatkan menjadi persekutuan Iman. Dari sinilah Dr. Sam Ratulangie mencetus-kan mottonya: “Si Tou Timou Tumou Tou” (Manusia hidup untuk menghidupi manusia), yang merupakan suatu jawaban atas pertanyaan tentang hakekat existensi manusia, yang justeru diberitakan oleh Injil….!

            Jelaslah pula bahwa dalam pembentukan watak Minahasa itu, maka kehidupan Iman yang dynamis memegang peranan utama, karena Iman itulah yang menanamkan kesadaran tanggungjawab atas sesama manusia dan dunia ini, seperti antara lain ditekankan oleh Calvin. Kalau Emanuel Kant mengajarkan “ethika kewajiban”, filsafat (dan theologia) Calvin berkisar pada “ethika tanggungjawab”. Dalam hal ini perlu diingat bahwa Yohannes Calvin adalah “produk” rasionalisme Eropa sebagai tantangan terhadap idealisme yang menguasai segala aspek kehidupan, termasuk gerejawi. Dengan rasionalismenya itu Calvin berhasil menarik Alkitab “dari awan-awan” ke dunia nyata, sehingga dapat disimak oleh manusia kepada siapa Firman Allah itu ditujukan. Pemahaman serta penerapan Firman Allah secara “rasional” itulah telah membentuk watak orang Belanda, dan……….”dijangkitkan” kepada orang Minahasa. 

Watak orang Minahasa yang demikian antara lain nyata dalam ucapan Sam Ratulangie; waktu Tan Malaka bertanya kepadanya “Apakah benar Bung Sam selalu percaya kepada Tuhan dalam segala hal, termasuk politik?”, Oom Sam menjawab: “Bung, percaya kepada Tuhan bukan perkara yang aneh, semua orang percaya kepada Tuhan. Yang menjadi masalah ialah, apakah Tuhan bisa percaya kita….?” Pertanyaan Tan Malaka, yang “merah”  itu, bertolak dari asumsi bahwa yang disebut “Tuhan” dan percaya kepada Tuhan hanya merupakan angan-angan (idealisme); Oom Sam tahu itu. Maka beliau membawa Tuhan serta issue percaya itu “down to earth”, ke taraf hubungan antar-manusia.

Karena watak progresif disertai pandangan universal itu maka adalah Gereja Minahasa yang paling banyak mengutus guru-guru Injil ke segala penjuru Nusantara, hal mana menunjukkan suatu visi yang jauh melintasi batas-batas daerah dan suku. Para perintis Injili di Tanah Karo, sehingga berdiri Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), adalah empat orang guru Injil Minahasa yang dibawa oleh Zendeling Kruyt (dari Sulawesi Tengah) ke sana. Gereja Masehi Injili Minahasa dari dahulukala terkenal sebagai salah satu “Gereja Missioner” yang paling menonjol di Indonesia.

Orang-orang Minahasa juga menduduki jabatan-jabatan yang relatif tinggi untuk orang Indonesia di waktu itu, baik di Pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, Kepolisian maupun Tentara. Belum lagi terhitung guru-guru sekolah, malah tidak sedikit orang Minahasa yang memiliki “Akta Kepala Sekolah Eropa” (Europesche Hoofd-Acte), seperti a.l. bapak E Katoppo. Tidak sedikit pula pendeta-pendeta menempuh pendidikan Theologianya di Nedarland, a.l. Ds. A.Z.R. Wenas, Ketua Synode GMIM yang pertama. Dr. Sam Ratulangie adalah orang Indonesia pertama yang meraih Doktor dalam ilmu Pasti-Alam. Apa mau dikata tentang jumlah dokter lulusan STOVIA (School Ter Opleiding Van Inlandsch Artsen) di Jakarta dan NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya. Dokter perempuan pertama adalah orang Minahasa (Dr. Thomas yang nikah dengan Dr. Anwar dan semasa hidupnya tinggal di Sumatra Barat). Semuanya itu, dan banyak contoh lain yang tidak disebut di sini, hanyalah untuk menggambarkan watak orang Minahasa yang “berakar-dua” itu. Baik oleh Belanda, maupun oleh masyarakat luas, orang Minahasa terbukti dapat diandalkan dalam tugas-tugas dan jabatan-jabatan vital.

Kalau kita menyimak semuanya itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa orang Minahasa itu “pro Belanda”. Yang sebenarnya terlihat ialah bahwa sebutlah, “unsur ke-Belandaan” sudah begitu menyatu dalam kepribadian orang Minahassa sedemikian rupa sehingga hampir tidak terlihat perbedaan antara watak Minahasa dan watak Belanda. Hal itu demikian dalamnya tertanam dalam diri orang Minahasa, sehingga sebelum Perang Dunia II di sementara kalangan timbul keinginan untuk menjadikan Minahasa “Provinsi Belanda ke Duabelas” (Nederland waktu itu mempunyai sebelas povinsi). Bagi saya pribadi adalah bodoh sekali jika kita menyangkal pengaruh Belanda atau Calvinisme Belanda dan “unsur ke-Belandaan” di dalam watak serta kultur kita sebagai orang Minahasa. Orang Timor Timur, waktu bergabung dengan Indonesia, tetap mempertahankan kultur dan latar-belakang Portugisnya, mengapa orang Minahasa tidak….? Orang Jawa, walaupun mayoritas beragama Islam, masih mempunyai dan membanggakan latar-belakang Hindu dalam kebudayaannya. Apa lagi kita orang Minahasa, yang Imannya menyatu dengan kulturnya…?

 

444 X 333

 

 

BAB III

PERISTIWA YANG MERUGIKAN

            Untuk dapat memahami perkembangan (kemerosotan) yang terjadi di kemudian hari, hendaklah kita meninjau sejarah sedikit. Untuk itu kita akan mulai pada akhir PD II.

            Kita tahu bahwa serentak setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Perang kemerdekaan itu berlangsung di Jawa dan Sumatra serta sebagian Sulawesi Selatan. Tetapi Sulawesi Utara, termasuk Minahasa, berada di bawah pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration), sehingga bendera Belanda berkibar di sana dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger) merupakan kesatuan tentara yang kuat, yang terdiri dari mayoritas orang Minahasa, yang kemudian ditambah dengan kesatuan-kesatuan KL (Koninklijk Leger) dari Nederland.

Sentimen-sentimen politik di kalangan penduduk sangat bervariasi. Ada kaum nasionalis moderat, yang menghindari konflik dengan NICA, sehingga terkesan berkompromis. Ada pula kaum nasionalis “garis keras”, yang waktu itu tentu saja masuk-keluar penjara (termasuk ayah saya sendiri sehingga dijatuhi hukuman mati dan diexekusi pada tanggal 28 Agustus 1948). Perlu ditambahkan bahwa sebelum PD II telah timbul gagasan “Twaalfde Provincie” bagi Minahasa (waktu itu Nederland terdiri dari sebelas provinsi, maka Minahasa akan menjadi “Provinsi ke Duabelas”), namun tidak pernah diwujudkan. Oleh karena itu, di zaman NICA terdapat juga suatu organisasi politik dengan nama “Twapro” (Twaalfde Provincie), yang hendak memperjuangkan supaya Minahasa diakui sebagai Provinsi Belanda ke duabelas (Waktu NIT dibubarkan, maka Soumokil, pendiri RMS, singgah di Manado untuk mengajak Twapro bergabung dan memprokla-masikan “Republik Minahasa”, namun tidak berhasil). Maka terjadilah suatu situasi dengan sentimen-sentimen di bawah permukaan yang “pro Republik” dan “pro Belanda”; yang terakhir ini tentu saja lebih menonjol, sehingga “gerakan Merah-Putih” di bawah pimpinan Taulu (Februari 1946) menemui kegagalan.

            Walaupun secara politik gerakan “Twapro” itu boleh dikata suatu utopia, namun sehu-bungan dengan pembahasan kita, haruslah kita melihat itu sebagai suatu pewujudan dari suatu kesadaran identitas orang Minahasa yang bermentalitas “seperti orang Belanda”, sebagai hasil perpaduan dua falsafah seperti dijelaskan dalam Bab II. Juga di zaman Revolusi orang Minahasa tidak mau kehilangan identitasnya itu, termasuk kalangan kaum nasionalis sekalipun. Apabila kita melihat sosok pemimpin-pemimpin dan para pejuang nasionalis kita seperti Sam Ratulangie, A.A. Maramis, Babe Palar, Frits Laoh, Daan Mogot (dan ayahnya), Wolter Monginsidi, Kol. Alex Kawilarang, Let.Kol Joop Warouw, Let.Kol. Ventje Sumual, Let.Kol. (Laut) John Lie, dan lain-lain, di samping mendapat pendidikan Belanda, mereka adalah produk kultural dari perpaduan Mapalus dan Calvinisme Belanda namun berjiwa nasionalis! Dengan demikian maka hendaklah kita melihat kehadiran Twapro itu sebagai suatu expressi dari pertahanan identitas itu. Jelaslah mengapa arus bawah “pro Belanda” itu kuat di kalangan masyarakat.

            Waktu Negara Indonesia Timur (NIT) berdiri sebagai salah satu bakal negara-bagian Republik Indonesia Serikat (RIS), maka aspirasi kaum nasionalis moderat terpenuhi. Kepuasan kaum “Federalis” itu a.l. bersumber pada keinginan untuk mempertahanan identitas mental-kultural seperti tersebut di atas. Entah beralasan atau tidak, tetapi umumnya ada kekhawatiran terhadap “Javanisasi”, baik dalam bentuk pemerintahan maupun – dan terutama – di bidang sosial-kultural, karena budaya Jawa bersifat kolektivistik dan feodal, hal mana bertentangan dengan watak orang Minahasa yang “individualistik-dalam-kebersamaan” dan demokratis. Walaupun Belanda dituduh menjalankan politik “Divide et Impera”, tetapi haruslah diakui bahwa dengan memilah-milah daerah dan suku menurut latar belakang kebudayaan (dan agama) masing-masing di zaman penjajahan, Belanda sebenarnya menghormati aspirasi kultural/agama yang ada pada setiap suku-bangsa Indonesia. Status quo itulah yang diinginkan oleh kaum “Federalis” Minahasa. Hal itu dapat dimengerti, karena ada kekhawatiran bahwa dalam suatu Negara Kesatuan unsur “ke-Jawaan” yang sangat kollektivistik itu akan sangat berpengaruh dalam pembangunan negara dan bangsa. Kekhawatiran itu beralasan bila timbul di dalam suatu masyarakat yang secara kultural demokratis dan “individualistik-dalam-kebersamaan” (ini adalah istilah saya sendiri untuk sedikit-banyaknya mengartikan Mapalus ….. Maaf, kalau mugkin salah)

            Setelah Pengakuan Kedaulatan Indonesia, dan Belanda menyerahkan kekuasaan sepenuh-nya kepada Pemerintah RIS pada tangal 19 Desember 1949, dan seluruh tentara Belanda ditarik dari bumi Indonesia, terjadilah suatu hal yang sangat disayangkan, kalau tidak mau dikata “memalukan” dan “merusak”. Di Minahasa timbul suatu “gerakan anti Belanda” dengan berbagai tindakan yang tidak masuk akal. Segala sesuatu yag berbau Belanda dihapus, sampai kebaktian gereja berbahasa Belanda pun dilarang. Yang paling menyedihkan ialah bahwa Fort Amsterdam (Benteng Amsterdam), yang didirikan dalam abad ke17 di Manado, itu dibongkar…..! Melihat peristiwa itu, kita terkesan seolah-oleh orang Minahasa ingin membuktikan bahwa mereka juga “nasionalis”; seperti mau menebus “dosa” pro-Belandanya di masa lalu. Orang Makassar yang telah membuktikan diri sebagai nasionalis sejati dengan secara aktif terlibat dalam perang Revolusi, a.l. di bawah pimpinan Wolter Monginsidi (orang Minahasa), tetap mempertahankan Benteng Rotterdamnya hinga kini, dan yang menjadi kebanggaan kota Makassar. Karenanya, tindakan orang Minahasa itu boleh dikata sangat berlebihan (over-acting)….!  Kalau di Bab II telah kita bahas tentang mental-budaya Minahasa yang tumbuh dari dua akar, yaitu Mapalus dan Calvinnisme Belanda, maka pembongkaran Benteng Amsterdam itu dapat kita lihat sebagai symbol dipotognya akar Calvinisme itu dari watak orang Minahasa……Tidak heran kalau dalam perkembangan selanjutnya “pohon mentalitas Minahasa” bertumbuh “miring”. Sadar atau tidak sadar, peristiwa Permesta sepertinya merupakan upaya terakhir untuk menyelamatkan identitas Minahasa yang “berakar-dua” itu, karena perlu diingat bahwa Permesta dipimpin oleh generasi “orang Minahasa tempo doeloe”, yang oleh para mahasiswa tadi disebut “memiliki sesuatu yang kita tidak punya”.

            Peristiwa-peristiwa tersebut diperparah lagi dengan upaya “menggali tulang-tulang kering” yang didorong oleh keinginan untuk “menggali kembali budaya asli”…. Tindakan itu merupakan pengakuan seolah-olah ucapan pejabat Batak itu bahwa “Injil telah merusak adat Minahasa”, adalah benar….! Menggali kembali “yang asli” itu merupakan suatu kemunduran; mengapa? Kalau orang Minahasa yang berbudaya asli di abad-abad ke 18 dan 19 tergerak untuk menyerap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam watak para pendatang Eropa itu, lengkap dengan Injilnya sehingga terbentuk watak Minahassa yang progresif, modern dan beriman Kristiani yang produktif, maka penggalian kembali “yang asli” itu membuat kita lebih bodoh daripada para leluhur kita di masa lalu. Kita mundur ke abad ke 18….! Bagaimana orang Minahasa generasi sekarang bisa maju, kalau begitu….?

Oleh karena itu, saya sangat berbahagia dengan gagasan sarasehan yang diadakan oleh para mahasiswa asal Minahasa di Bandung waktu itu. Mereka menunjukkan suatu kesadaran akan bahaya kemunduran serta keinginan untuk menemukan dan membangun kembali suatu mentalitas serta watak Minahasa “seperti dorang oom-oom dan tante-tante”.

444 X 333

BAB IV

ORANG MINAHASA KONTEMPORER

            Apabila kita sekarang berbicara tentang orang Minahasa, ada berapa suku Minahasa sebenarnya? Pasti ada yang menyebut Tondano, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Bantik dan lain-lain sebagainya. Tetapi itu tidak relevan lagi, karena di perantauan semua orang Minahasa adalah Kawanua (istilah ini berasal dari kawan sebenua, dan hanya dipakai oleh orang Minahasa di perantauan). Paling-paling ada kumpulan-kumpulan Tonsea, Tondano, Kakas, Sonder dan lain-lain, sama seperti orang Batak mempunyai “kumpulan-kumpulan marga”. Kumpulan-kumpulan itu hanya ada demi kekeluargaan dan bersifat intern. Yang kita maksud di sini dengan “ada berapa suku Minahasa” ialah suatu pembagian orang Minahasa secara keseluruhan menurut identitas dan karakteristiknya masakini.

            Di dalam Bab III kita telah bahas permasalahan tentang karakteristik orang Minahasa setelah Perang Revolusi. Melihat perkembangan selanjutnya, maka dewasa ini kita menemukan suatu “peta” baru tentang orang Minahasa, di mana kita menemukan empat jenis, dengan karakteristiknya masing-masing, sehingga Sdr. Ir. Alfred Ingkiriwang menyebutnya “empat Suku Minahasa”. Siapakah mereka itu?

  1. Orang Minahasa di Minahasa
  2. Orang “Manado Kaart”, tetapi masih di Indonesia
  3. Orang Minahasa di Nederland
  4. Orang Minahasa di USA

Maka apabila kita melihat karakteristiknya masing-masing, nyata jelas perbedaannya.

Tentang mentalitas dan karakteristik mereka yang ada di Minahasa, sudah kita bahas di atas dengan panjang lebar, yaitu generasi produk pasca “pembabatan unsur Belanda”..

Yang disebut “orang-orang Manado Kaart” adalah orang Manado yang lahir dan dibesarkan di luar Minahasa dan yang hanya mengenal Manado di “kaart” (= peta). Mereka adalah generasi muda yang masih memiliki karakteristik orang Minahasa “tempo doeloe”. Tidak heran, karena mereka dididik oleh orangtuanya (menurut kesaksian mereka sendiri) “dengan cara Belanda”, yaitu dengan kadar disiplin dan tanggungjawab yang tinggi serta berpandangan hidup seperti orang Eropa, sama dengan watak orangtua mereka itu. Lagipula mereka tidak mengalami dan terkontaminasi oleh suatu “nasionalisme berlebihan”, seperti terjadi di Minahasa di tahun-tahun 50-an, malah mereka sendiri adalah “nasionalis sejati”, karena banyak di antara mereka, atau paling tidak orangtua mereka, juga ikut dalam Perang Revolusi atau sebagai Perintis kemerdekaan.

Tetapi yang sudah bermukim di Nederland dan USA, sangatlah berbeda dengan kedua kategori yang pertama, sehingga Sdr. Alfred Ingkiriwang melihat mereka sebagai “suku-suku tersendiri”. Yang telah bermukim di Nederland dan USA pada umumnya sudah menjadi warganegara negeri-negeri tersebut. Mereka telah menjadi Nederlander (orang Belanda) dan American (orang Amerika). Tetapi yang menarik perhatian ialah, apabila ditanya tentang etniknya, baik yang di Nederland maupun yang di USA, mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah “orang Manado” (atau orang Minahasa); tidak pernah mereka mengatakan “orang Indonesia“….! Jadi, walaupun berasal dari Indonesia, tetapi yang “menempel” pada mereka adalah Manado-nya….! Dengan demikian kita temukan “orang Minahasa Belanda” dan “orang Minahasa Amerika” dengan mentalitas dan karakteristiknya masing-masing, namun mentalitas Minahasa tempo doeloe masih kental. Banyak di antara mereka sudah merupakan penduduk generasi kedua dan ketiga di negeri-negeri itu; generasi pertama sudah makin berkurang. Kalau generasi pertama saja sudah dipengaruhi oleh lingkungan dan gaya hidup masyarakat Belanda atau Amerika, maka generasi-generasi berikutnya telah dibentuk oleh lingkungan sosial dan kultur negeri itu masing-masing. Ingatlah bahwa, seperti telah dikatakan di atas, orang Minahasa mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan lingkungan; maka tidak heran bahwa “Kawanua-kawanua” itu telah menjadi orang Belanda dan orang Amerika sejati.

            Jadi, jelaslah bahwa para Kawanua di Nederland sudah mempunyai pandangan hidup serta mentalitas yang sama dengan orang Belanda; mereka berpikir sebagai orang Belanda, hidup sebagai orang Belanda dan bergaya-hidup sebagai orang Belanda; demikian pula mereka yang di Amerika Serikat. Namun demikian, mereka tetap mengaku diri sebagai “orang Manado”. Waktu saya di Amerika bertamu pada seorang ibu Indo Jawa, yang suaminya almarhum orang Manado, anak-anaknya yang lahir dan besar di USA selalu mengatakan kepada teman-teman mereka “We are Manadonese”…..! Hal itu tentu saja terutama “diturunkan” dari orangtua mereka. Walaupun sudah menjadi “orang sana”, tetapi unsur-unsur ke-Minahasa-an masih terdapat dalam karakteristik mereka dan secara emosional mereka masih merasa keterikatan dengan “negeri leluhurnya” Minahasa….! Hal itu nyata pada perhatian mereka terhadap daerah asal orangtuanya; misalnya kalau mereka berlibur ke Indonesia, mereka selalu sempatkan diri untuk berkunjung ke Minahasa; atau bila ada yang dari sini berkunjung ke Nederland atau Amerika, selalu para Kawanua kita di sana bertanya bantuan apa yang dapat mereka berikan untuk keperluan berbagai sektor di Minahasa, misalnya untuk gereja, pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain sebagainya.

Tetapi dilihat dari mentalitasnya, mereka masing-masing mempunyai karakteristik yang khusus, sehingga dapat dianggap sebagai “suku-suku Minahasa” yang berbeda dengan yang di Minahasa serta yang “Manado Kaart”. Oleh karena itu teman saya, Pdt. Anton Sangkaeng, menyebut keempat suku Minahasa seperti disebut diatas, “Orang Minahasa Kontemporer”. Menurut saya, itu adalah istilah yang paling tepat, karena merupakan suatu “hasil” dari migrasi dan perkembangan pasca Perang Revolusi. Itulah kenyataan yang kita hadapi sekarang.

Dengan adanya generasi “Tempo Doeloe” yang masih hidup,” Manado Kaart” dan “Orang Manado Belanda” serta “Manado Amerika” maka terbuka lebar kemungkinan untuk memulihkan mentalitas dan watak Minahasa seperti sediakala melalui suatu interaksi antara “keempat suku Minahasa” tersebut.  Mungkin tidak lagi dalam bentuk seperti dulu, yang dikatakan “mirip Belanda”, tetapi yang penting ialah bahwa nilai-nilai serta potensi-potensi yang terkandung di dalam kedua “akar” budaya yang kita bahas di atas, dibawa kembali ke permukaan dalam pembentukan watak Minahasa yang modern. Saya yakin bahwa di Minahasa pun terdapat banyak generasi muda yang dididik oleh orangtuanya di sana seperti para “Manado Kaart”, atau karena melalui pendidikan formal dengan sadar memperluas wawasannya sedemikian rupa sehingga terbentuklah watak yang progresif dan berwibawa, sama seperti orangtuanya. Merekalah yang terutama hendaknya meningkatkan pengaruh mereka dalam pembentukan “watak Minahasa modern”, karena mereka ada di sana! Dengan mengadakan hubungan yang interaktif dengan “suku-suku Minahasa” lainnya yang dimaksud di atas, maka dapat kita harapkan suatu “pemulihan” serta pembentukan mentalitas orang Minahasa yang modern.  Tetapi kita harus mulai SEKARANG….!

 

  • ØØØ X ×××

 

 

BAB V

RESTORASI DAN PEMBENTUKAN KEMBALI

Kalau dikatakan bahwa kita harus mulai sekarang, tetapi di manakah kita mulai? Sebelum kita mencari jawabannya, telebih dahulu kita hendak menentukan apa yang hendak dicapai. Kalau sosok generasi-generasi terdahulu disebut “bermental Belanda”, maka generasi-generasi sekarang dan mendatang harus “go International”; karakteristik orang Minahasa yang “terbuka” memungkinkan hal itu. Yang diperlukan ialah suatu tekad yang kuat disertai kerja keras. Namun untuk itu diperlukan kerendahan hati disertai “ingin belajar”; segala sifat dan sikap “sok tahu” dan percaya diri yang berlebihan (alias sombong), harus ditanggalkan dan dibuang jauh-jauh. Kita tidak mempunyai alasan untuk menyombongkan diri. Baiklah sekarang kita melihat langkah-langkah yang dapat diambil untuk membentuk suatu mentalitas seperti sediakala, malah lebih modern lagi dari itu.

 

 

  1. 1.      Re-Evangelisasi Minahassa

Itu adalah suatu “gerakan” yang dipelopori oleh alm. Ds. A.Z.R.Wenas, Ketua Synode GMIM di permulaan dasawarsa 60-an. Beliau dengan tepat melihat bahwa suatu pembangunan kembali mentalitas Minahasa yang sudah “terkontaminasi” oleh bebagai pengaruh negatif serta “kerinduan akan tulang-tulang kering”, hanya dapat dilakukan bila kita kembali kepada Injil.

Kita sudah melihat bahwa waktu orang Minahasa telah menyerap filsafat Calvinis Belanda di samping Mapalus, maka terbentuklah identitas, mentalitas serta karakteristik Minahasa di masa lalu. Kita juga mengetahui bahwa Calvinisme seluruhnya bersumber pada Firman Allah. Sehubungan dengan itu perlu kita mengutib pernyataan Whithead bahwa “Modern science was born and developed in the framework of a Christian mentality” (Ilmu pengetahuan modern telah lahir dan berkembang di dalam bingkai mentalitas Kristiani). Perlu dicatat di sini bahwa adalah Calvinisme yang telah memberi pengaruh paling besar dalam pembentukan “bingkai mentalitas Kristiani” itu. Walaupun banyak orang di Eropa dan benua Amerika tidak lagi rajin ke gereja, malah sudah menjadi orang yang tidak percaya kepada Kristus, namun mentalitas Kristiani tetap menempel pada mereka. Kalau kita berbicara tentang “science”, maka sekaligus kita bicara tentang “mentalitas”. Keinginan akan pengetahuan serta penemuan-penemuan justeru didorong oleh suatu rasa tanggungjawab atas alam semesta ini yang diserahkan oleh TUHAN guna kepentingan manusia yang adalah “Homo Imago Dei” (“Manusia Citra Allah”). Perolehan science sebagai pengetahuan belaka, tidak akan ada gunanya tanpa suatu mentalitas yang memadai, karena science itu justeru lahir dan berkembang dalam suatu bingkai metalitas tertentu, yaitu menurut Whitehead, “mentalitas Kristiani”, yang pada gilirannya merupakan suatu “mentalitas bertanggungjawab pribadi”. Di mana-mana kita melihat kebenaran pernyataan Whitehead itu: di mana Injil masuk, di situ terjadi perkembangan pesat di segala bidang kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat.

Oleh karena itu, kiranya jelas bagi kita bahwa orang Minahasa secara serius hendaknya memeriksa kembali Firman Allah secara kontextual. Tidak cukup menjadi “warga gereja”, dibaptis, disidi, rajin beribadah dll. sebagainya. Injil itu harus meresap “sampai ke sum-sum” sehingga menjadi sumber pembentukan watak dan kepribadian kita masing-masing. Kristus telah berkata “….di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”[1].

 

 

  1. 2.      Keterbukaan

Tidak menjadi rahasia bahwa semua orang mengakui serta mengagumi sifat keterbukaan orang Minahasa. Ada komunitas-komunitas tertentu yang begitu ketat berpegang kepada adat dan “kebudayaan leluhur” sehingga membuat pagar tembok di sekelilingnya karena takut akan pengaruh luar itu. Lain halnya dengan orang Minahasa. Keterbukaan itulah yang membuat orang Minahasa “akrab” dengan masukan dari luar, mudah berbaur, berkomunikasi dan bergaul dengan siapapun juga. Ke manapun orang Manado (Minahasa) pergi, mereka mampu berbaur dengan masyarakat setempat. Keterbukaan itu pula yang membuat kita mampu menyerap segala sesuatu yang datang dari luar, walaupun sayang sekali adakalanya tanpa penyaringan. Tetapi sebaliknya adalah keterbukaan itu yang membuat kita mampu memandang segala sesuatu secara positif serta meraihnya menjadi milik kita, sehingga di masa lalu orang Minahasa terkenal progresif dan modern.

Oleh karena itu hendaklah kita menggunakan sifat keterbukaan itu semaximal mungkin dalam memandang serta mempelajari dunia luar dan belajar dari padanya dengan Injil sebagai “kompas”. Sekali lagi, di sini harus kita tanggalkan sifat “sok tahu” yang juga menjadi ciri generasi muda Manado zaman sekarang. Sifat keterbukaan dan ingin belajar itu harus disertai kerendahan hati yang bersumber pada Injil itu pula, seperti dikutib oleh ayah saya dari Konghucu sebelum diexekusi oleh Belanda: “Carilah hikmat tanpa kasut”.

 

  1. 3.      Go International

Pada abad ke 17 orang Minahasa hanya mengenal dua bangsa Eropa, yaitu Spanyol-Portugis yang kasar dan sering berbuat onar, dan orang Belanda yang bersikap santun. Justeru karena sikap santun itu maka bangsa yang disebut terakhir ini diterima dalam suatu hubungan dagang dan politik, sehingga terjadi suatu interaksi mental dan kultural yang lambat laun membentuk karakteristik serta mentalitas orang Minahasa seperti diterangkan dalam Bab II. Jadi, pergaulan dengan bangsa-bangsa lain disertai interaksi kultural bukan merupakan hal yang baru bagi orang Minahasa. Hal itu perlu dimanfaatkan semaximal mungkin oleh generasi muda.

Kalau dahulukala orang Minahasa lebih banyak bergaul dengan orang Belanda, sekarang, dalam abad ke 21 ini kita berhubungan dengan berbagai bangsa di dunia, serta berkenalan dengan kebudayaannya masing-masing, berkat berbagai sarana komunikasi modern seperti yang sedang berkembang sekarang, melalui buku-buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, film dan TV, akses informasi melalui inter-net yang makin hari makin canggih dan terjangkau oleh semua orang…..  “Dunia menjadi kecil”, memang!

Kita mulai dengan buku bacaan. Dari seluruh bangsa Indonesia, orang Minahasa memiliki “budaya membaca” yang sudah mengakar. Itu sudah merupakan suatu keuntungan besar. Yang perlu ditingkatkan sekarang ialah materi yang dibaca. Suratkabar sudah merakyat, dan sudah tidak terhitung banyaknya majalah yang beredar di pasaran. Namun yang perlu diperhatikan ialah seleksi suratkabar serta materi yang dibaca. Surat-surat kabar besar menyajikan berbagai berita dan rubrik yang sangat informatif, sedangkan banyak majalah menyajikan informasi dalam bebagai bidang dan berasal dari manca negara. Buku-buku mulai dari novel sampai ilmu pengetahuan makin banyak diterbitkan. Tetapi apabila kita ingin “Go International”, tidak cukup kita membaca majalah dan buku dalam Bahasa Indonesia atau terjamahan-terjemahan (yang kadangkala sangat jelek). Jikalau kita hendak menyerap pandangan hidup bangsa-bangsa lain, adalah lebih berguna lagi bila kita membaca buku-buku dan majalah dalam bahasa aslinya; dengan demikian kita “bergaul” dengan bangsa-bangsa lain melalui buku-bukunya. Maka untuk itu sangat diperlukan penguasaan bahasa-bahasa asing, terutama bahasa Inggris (yang diakui sebagai bahasa internasional). Saya sendiri dibesarkan dengan bahasa Belanda, karena bahasa itulah yang dipakai di rumah, sehingga saya menguasai bahasa itu sama seperti orang Belanda. Berdasarkan pengalaman itu, maka pada waktu anak-anak saya meningkat ke kelas 2 SMP, saya sering berkomunikasi dengan mereka dalam bahasa Inggris di rumah, karena bukan bahasa Belanda yang diutamakan seperti di zaman saya, melainkan bahasa Inggris. Saya ingin supaya anak-anak saya menjadi fasih berbahasa Inggris, seperti saya dulu dengan bahasa Belanda. Di samping bahasa Inggris dapat juga ditambah dengan bahasa lain, seperti misalnya Prancis, Jerman, Belanda, Jepang, Mandarin. Apabila kita menguasai sekurang-kurangnya satu bahasa asing dan membaca buku-buku dalam bahasa asing, maka kita dapat memahami kultur bangsa bersangkutan serta menyerap nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya. Dengan demikian bukan saja wawasan kita diperluas, malainkan akan sangat berpengaruh pula dalam pembentukan watak kita. Pernah seorang Amerika berkata kepada saya: “Fred, although you are an Indonesian, but when I talk with you, I feel like talking to a fellow American” (Walaupun kamu orang Indonesia, tetapi bila saya bercakap-cakap dengan kamu, saya merasa seperti berbicara dengan sesama orang Amerika”…. bukan menyombongkan diri lho…). Hal itu dapat terjadi karena saya memang banyak membaca buku-buku (termasuk novel) berbahasa Inggris (di samping bergaul dengan orang-orang dari negeri-negeri berbahasa Inggris), sehingga mengenal sifat dan kultur bangsa-bangsa itu, serta dapat memahami sikap dan pandangan hidup mereka. Dengan demikian kita tidak dapat terhindar dari pengaruh bangsa-bangsa itu kedalam sikap dan pandangan hidup kita, yang pada gilirannya ikut berperan dalam pembentukan watak kita. Dalam hal ini para Kawanua yang sudah menetap di negeri-negeri lain (khususnya Nederland dan Amerika Serikat), dapat sangat berperan di sini dalam suatu interaksi, jika kita mengadakan serta memelihara kontak dengan mereka melalui berbagai cara.

 

  1. 4.      Pergaulan

Karena sifat keterbukaan serta mudah berbaur, orang Minahassa juga terkenal “mudah dalam pergaulan”. Ke manapun mereka pergi, dengan mudah mereka menyesuaikan diri dan berbaur sehingga mereka diterima di mana-mana. Dalam pergaulan kita dengan orang lain, terjadi suatu interaksi. Pada pihak satu kita mempengaruhi orang lain itu atau lingkungan, pada pihak lain kita menyerap perkara-perkara baru yang kita lihat dalam orang lain dan lingkungan tempat kita bergaul. Ataupun dari pergaulan kita dengan para “Kawanua Belanda dan Amerika”. Sifat keterbukaan membuat kita mampu menerima orang apa adanya dengan berpandangan “different but not neccessarily wrong” (berbeda, tetapi belum tentu salah).

Namun demikian, keterbukaan tidak harus berarti “telanjang”….! Dengan berpegang pada prinsip-prinsip hidup yang mendasar, haruslah diadakan seleksi dengan berpedoman pada tiga hal:

1)      Apakah yang hendak kita resap itu benar atau salah secara hakiki. Dengan akses informasi melalui bacaan dan terlebih sekarang melalui Inter-net, dunia menawarkan kepada kita banyak perkara yang menarik. Tetapi dengan berpedoman kepada Firman Allah dan/atau sekurang-kurangnya dengan hati nurani serta akal sehat, kita menguji apakah yang ditawarkan kepada kita merupakan hal yang benar. Yang secara ethis kita sebut “benar” adalah apa yang dapat kita pertanggungjawabkan, baik kepada Tuhan, kepada sesama kita dan kepada diri sendiri.

2)      Walaupun tidak salah, apakah sesuai dengan prinsip dasar yang kita anut.

3)      Walaupun benar, tetapi apakah berguna serta relevan bagi kita dalam menjalani hidup ini.

Dengan demikian maka kita terhindar dari kompromis serta tidak kehilangan identitas kita, terutama dengan menggunakan butir 2) di atas. Dalam pergaulan itu kita dapat menyerap perkara-perkara positif dari orang-orang dengan siapa kita bergaul, terutama dari mereka yang berasal dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita membuka mata (dan hati) kita lebar-lebar, maka sadarlah kita bahwa banyak yang dapat kita belajar dari orang lain, apa lagi dalam pembangunan suatu sikap mental yang positif dan progresif.

            Seperti telah disinggung di atas, dalam pergaulan kita juga menjadi “sumber pengaruh”. Di sini kita berperan sebagai individu yang bertanggungjawab dan….. dalam menjalankan “misi” kita sebagai orang Kristiani. Dikatakan “bertanggungjawab”, karena pengaruh kita itu dapat bersifat  negatif atau positif! Maka sebagai seorang yang bertanggungjawab dan sabagai murid Yesus, dengan pengaruh itu hendaklah kita menjadi berkat bagi orang yang kita hadapi dan/atau lingkungan tempat kita berkecimpung. Bukan rahasia lagi bahwa (terlebih di masa lalu) menurut pengakuan orang, orang Minahasa sering memberi pengaruh yang amat positif kepada lingkungan tempat mereka bekecimpung; baik kepada perorangan, maupun kepada kelompok.

 

  1. 5.      Pendidikan

Pendidikan mempunyai dua aspek atau pengertian, yaitu:

a)      Pembentukan dan pengembangan watak

b)      Pengajaran/perolehan ilmu pengetahuan

Yang pertama biasanya dimasukkan dalam kategori “pendidikan non-formal”, sedangkan yang kedua dalam “pendidikan formal”. Tetapi pembagian kategori tersebut tidak seluruhnya tepat, karena sebenarnya pembentukan dan pengembangan watak harus juga dilakukan di dalam “pendidikan formal” secara integral. Hal itu dilakukan oleh para guru Belanda di zaman dahulu; mereka tidak hanya mengajar, mereka juga mendidik…!!

            Tetapi baiklah, sehubungan dengan pokok bahasan ini, kita mengikuti pembagian di atas. Pendidikan pada dasarnya mulai di rumah, di dalam rumahtangga, demi terciptanya watak dan identitas Minahasa yang kita inginkan di masadepan. Orangtua adalah yang paling pertama bertanggungjawab atas pendidikan putra-putrinya (dalam hal ini para guru di sekolah hanya merupakan pembantu). Oleh karena itu, maka para orangtua generasi muda Minahasa yang sudah menyadari problema yang kita bahas di atas, hendaknya mulai mendidik anak-anaknya sesuai dengan mentalitas Minahasa “yang dipulihkan” itu. Dalam pembinaan mentalnya mereka dididik menurut kaidah-kaidah Injili yang komprehensive dan praktis. Untuk masadepannya mereka dibesarkan dalam wawasan global; untuk itu mereka harus diberi peluang untuk belajar bahasa-bahasa asing melalui kursus-kursus. Atau bila orangtua menguasai salah satu bahasa asing, pakailah bahasa itu sebagai bahasa pengantar di rumah (di samping bahasa Indonesia). Anak-anak juga harus dirangsang kedalam kebiasaan membaca, sehingga “budaya membaca” yang sudah dimiliki orang Minahasa sejak dahulukala, tidak luntur. Anak-anak dilatih untuk bergaul secara luas tanpa pilih bulu, berbaur tanpa kehilangan identitas, serta belajar dari orang lain dalam pergaulan itu. Untuk itu anak-anak harus diperlakukan secara “demokratis”; artinya, orangtua harus memberi kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk mengeluarkan pendapat dan (terutama) menceritakan pengalaman-pengalamannya, tanpa orangtua memberi kritikan atau celaan. Bila ada yang negatif dalam pengalaman atau ungkapan anak itu, maka orangtua hendaklah menyajikan alternatif yang positif sebagai imbangan untuk anak menilainya sendiri. Inilah kira-kira dengan singkat bentuk pendidikan orang Minahasa “tempo doeloe….!

            Sesuai dengan aspirasi Minahasa dari dahulukala, yaitu ingin belajar demi progress, tentu saja orangtua ingin menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat yang setinggi-tingginya. Sifat “ingin belajar” itulah yang membuat jumlah kaum terpelajar Minahasa meningkat terus dari dulu sampai sekarang. Maka Pemerintah serta badan-badan pendidikan di Minahasa perlu meningkatkan mutu sekolah-sekolah, dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi untuk memenuhi karakter “ingin belajar” itu semaximal mungkin. Selain itu, setiap orangtua atau pemuda secara pribadi berusaha mencari peluang untuk bersekolah (tingkat Perguruan Tinggi) di luar negeri. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita harus mau belajar dari orang (atau bangsa-bangsa) lain. Tingkat intelektualitas yang tinggi yang rata-rata dimiliki oleh orang Minahasa, harus dimanfaatkan tanpa batas.

 

KESIMPULAN

            Demikianlah kira-kira lima langkah yang hendaknya kita buat dalam proses “pemulihan” watak dan identitas orang Minahasa. Perlu dicatat di sini bahwa, walaupun generasi muda zaman sekarang masih bisa dibina, namun hanya suatu bagian di bawah 50% yang akan dapat terbuntuk sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh karena itu, maka pembentukan dan pengembangan watak harus dimulai sejak anak masih balita dan kemudian di tingkat SD, demi terciptanya watak dan identitas Minahasa seperti yang kita inginkan di masadepan. Menurut teman saya di Jerman, pembentukan mentalitas yang demokratis dan mandiri pada orang-orang Jerman bagian Timur, yang sejak zaman Nazi sampai dengan zaman rezim Kommunis tidak pernah mengenal demokrasi, apa lagi berwatak mandiri, baru akan tercapai dalam generasi berikut karena harus dimulai pada anak-anak yang sekarang masih kecil. Pembentukan watak orang Minahasa sampai menjadi “seperti orang Belanda” dimulai pada abad ke 18 dan mendapat bentuknya pada pertengahan abad ke 19 dan sepanjang abad ke 20.

            Jika kita dengan serius melaksanakan langkah-langkah seperti tersebut di atas, maka lambat laun terbentuklah kembali watak serta identitas orang Minahasa yang tumbuh dari akar Mapalus-Calvinis……eeehh koreksi:…..Mapalus-Budaya Internasional. Yang dimaksud dengan “Budaya Internasional” ialah suatu budaya sebagai hasil ramuan dari segala yang baik dan positif yang kita serap dari falsafah bangsa-bangsa lain. Dengan demikian maka diharapkan orang Minahasa akan menjadi lebih baik lagi daripada “dorang oom-oom dan tante-tante”, karena watak serta wawasannya akan lebih luas dan bervariasi daripada “mirip orang Belanda” dahulukala. Dengan watak yang demikian kita akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa Indonesia seperti dulu, karena daerah Minahasa, bahkan Sulawesi Utara, terlalu kecil sebagai “wilayah pelayanan” orang Minahasa sehingga harus merantau. Sama halnya dengan dulu, orang Minahasa merantau, tetapi bukan untuk cari makan, sebab di Minahasa cukup makanan, melainkan untuk melayani, yaitu untuk membagi-bagi jasanya ke seluruh Nusantara, malah sampai ke mancanegara.

            Kiranya Tuhan memberkati kita semua….!

 

 

[1] Yoh. 15:5

Pos ini dipublikasikan di Tak terkategori. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar